Skill Center Percik Insani
LATAR BELAKANG
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.
Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya. Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat. Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
1.2 Persoalan umum seputar dunia autisme
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).
Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1
1.3 Persoalan seputar Therapy Center atau Klinik Autisme
Data Autism Care Indonesia mengatakan, satu dari seratus anak Indonesia usia 0 – 12 tahun merupakan penyandang autisme. Mereka mengatakan, data yang didapat dari tahun ke tahun menunjukan adanya peningkatan pesat jumlah penyandang autis di Indonesia. Sayangnya, peningkatan jumlah penderita autis di Indonesia tidak serta merta dibarengi dengan banyaknya tenaga terapis yang profesional dengan kualifikasi dan kompetensi yang baik dalam membimbing dan mengajar anak-anak autis itu.
Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) Melly Budhiman mengatakan, sejauh ini dokter yang mampu menangani kasus autisme adalah psikiater anak. Jumlah psikiater anak di Indonesia hanya sekitar 40 orang, lebih separuhnya berada di Jakarta. Banyak ibu kota provinsi, seperti Banda Aceh dan Kendari, belum memiliki psikiater anak meski jumlah penyandang autisnya cukup banyak.
Kenyataan tersebut yang lantas membuat mahalnya biaya pengobatan dan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Untuk 90 menit hingga 120 menit pertemuan dengan tenaga terapis, masyarakat harus mmengeluarkan biaya antara 100 ribu hingga 150 ribu rupiah. Hal tersebut tentu saja sangat mahal lantaran dalam satu hari, idealnya mereka bertemu terapis tiga sampai empat kali pertemuan. Jika dihitung 100 ribu rupiah misalnya, maka dalam satu hari, dibutuhkan 300 sampai 400 ribu rupiah.
Dan jika dihitung satu bulan dengan frekuensi pertemuan hampir tiap hari, maka orang tua yang anaknya mengidap autis harus membayar sekitar 9 juta rupiah tiap bulan. Itu juga belum lagi biaya obat-obatan, alat-alat peraga dan perangsang anak, sampai biaya konsultasi kepada ahli. Untuk sekali konsultasi saja bisa mencapai 500-1 juta rupiah jika konsul ke ahli kenamaan.
1.4 Persoalan mengenai pendidikan
Masalah Pada tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah anak berkesulitan belajar, terutama penyandang autisme. Mengingat di Negara kita belum ada upaya yang sistimatis untuk menanggulangi kesulitan belajar anak autisme, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan secara umum. Peningkatan pelayanan pendidikan itu diharapkan dapat menampung anak autisme lebih banyak serta meminimalkan problem belajar terutama pada anak-anak autisme (learning problem). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dan pendidikan anak autisme diperlukan pendidikan integrasi dan implementasinya dalam bentuk group/kelas (sekolah), individu (one on one) serta pembelajaran individual melalui modifikasi perilaku.
Banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum mendapat layanan sesuai kebutuhannya, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat. Layanan pendidikan di sekolah inklusi juga belum sesuai, karena guru-guru tak punya kemampuan dan keahlian yang memadai menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.
1.5 Persoalan mengenai autisme remaja dan dewasa
Masa remaja merupakan masa transisi antara anak-anak menjadi orang tua. Pada masa ini, remaja seringkali menghadapi konflik, baik konflik dalam diri sendiri maupun konflik dengan lingkungan seperti orangtua, sekolah dan teman-temannya.
Pada anak autis, konflik yang dihadapi saat remaja bisa lebih pelik lagi karena memiliki hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya. Banyak dijumpai kasus anak autis yang sudah mendapat terapi saat anak-anak dan bisa bersikap tenang kemudian berubah menjadi suka memberontak ketika memasuki masa remaja.
Beberapa faktor penyebabnya adalah karena mulai menyukai lawan jenis, memasuki masa puber dan muncul dorongan seksual tapi tidak tahu cara menyampaikan atau mengatasinya. Tak hanya itu, anak-anak autis di sekolah juga seringkali dijauhi oleh teman-temannya padahal mereka juga ingin diajak main bersama. Bahkan, banyak anak autis yang menjadi korban bullying oleh teman-teman sekolahnya. Kondisi ini membuat remaja autis rentan mengalami depresi.
1.6 Persoalan mengenai kemandirian
Pengertian kemandirian menurut kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “mandiri” yang berarti sendiri yang diartikan juga sebagai suatu keadaan yang menyatakan seseorang tidak tergantung pada orang lain.
Orang yang telah mandiri biasanya sanggup mengerjakan sesuatu berdasarkan sikap dan tanggungjawab serta mampu mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan kapasitasnya. Kemandirian adalah kemampuan untuk berdiri sendiri dan membangkitkan kesanggupan atau menggali potensi yang ada pada dirinya agar tidak tergantung pada orang lain, baik dalam merumuskan kebutuhan maupun dalam mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapinya bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
Pengertian tersebut menekankan bahwa kemandirian seseorang tergantung pada kemampuan yang dimilikinya untuk tidak tergantung kepada orang lain.
Dalam kemandirian ada aspek-aspek yang harus diperhatikan diantaranya:
- Aspek kepercayaan pada diri sendiri di dalam melakukan tugas-tugas kehidupan.
- Aspek tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan.
- Aspek kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan dalam berusaha.
- Kemandirian Anak Autis
Kemandirian pada individu autis tidak dapat dicapai secara optimal apabila tidak didukung oleh lingkungan yang kondusif, layanan pendidikan yang memadai serta kerja sama antara guru, orang tua dan masyarakat. Dari kemandirian merawat diri sendiri sampai mandiri dalam bermasyarakat serta mencari nafkah untuk menunjang kelangsungan hidupnya dapat dicapai secara bertahap.
Anak autis dapat dikatakan mandiri jika pada akhir pelayanan pendidikan yang diberikan dapat :
- Memelihara kesehatan jasmani dan rohani.
- Memiliki pengetahuan keterampilan sehingga dapat:
- Mengurus / merawat dirinya
- Menyesuaikan diri dan bekerjasama dalam batas tertentu terhadap / bagi lingkungannya.
- Melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari sesuai tingkat kemampuannya.
- Mempunyai kesiapan untuk hidup mandiri
Konteks latar belakang persoalan inilah yang mendorong Yayasan Percik Insani mencoba menjawab beberapa persoalan nyata yang dihadapi orang tua, yaitu membuat bentuk pendidikan yang mengarah pada kemandiriaan anak. Pada tingkat remaja autis, perlu dibina dan dikembangkan bakat-bakat atau kemampuan yang bisa menjadi bekal mereka nantinya.
Dengan modal keberanian dan didukung oleh beberapa jaringan kemanusiaan, Percik Insani membuka sebuah Skill Center bagi remaja autis. Dengan sistem dan metode sedemikian rupa, didukung sarana dan prasarana yang memadai, dan ditangani oleh tim atau lembaga profesional, berharap bentuk pendidikan skill center ini bisa menjawab persoalan yang diharapi para orang tua dalam menciptakan para remaja autis menjadi mandiri.
Tentang Skill Center
Pendidikan Skill Center merupakan bentuk pendidikan vocational. Vokasi secara harfiah berarti kerja. Pendidikan vokasional adalah pendidikan yang berhubungan dengan kerja. Konsep vokasional berbasis dari bakat, minat dan kemampuan anak yang diarahkan sejak dini. Pendidikan vokasional adalah pendidikan yang ideal untuk anak berkebutuhan khusus, terutama anak autis. Setelah mengetahui minat dan bakat anak, maka anak/remaja autis dipertimbangkan untuk mengikuti pendidikan vokasional yang berfokus dalam pengembangan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Pendidikan vokasional diberikan sejak anak berusia 10 tahun setelah anak-anak autis selesai menjalani berbagai macam terapi untuk meningkatkan kemampuan emosi, komunikasi dan interaksinya. Apabila terapi yang diberikan belum selesai atau tidak berjalan baik, biasanya anak masih sulit untuk mengembangkan potensinya agar dapat mengikuti pendidikan vokasional.
Ada berbagai macam pendidikan vokasional yang bisa diberikan, mulai dari tingkat rendah seperti mengaduk-aduk roti, membersihkan, hingga ketrampilan kerajinan tangan, ketrampilan menjahit, tata boga, berkebun, bermusik dan desain grafis. Pilihan ini tentu disesuaikan dengan kemampuan anak.
Kebutuhan pendidikan vokasional ini difasilitasi dalam skill center, dimana di sana disediakan ruang-ruang workshop. Remaja autis akan memulai menjajagi minat bakat, kemudian mengembangkannya. Ada banyak skill yang bisa diolah, misalnya menjahit, berkebun, komputer, memasak, musik, keramik, desain grafis, dan keterampilan lainnya. Skill center ini nantinya diharapkan bisa juga menjadi tempat produksi beberapa barang atau jasa yang kemudian dipasarkan.