Profil YPIB

Sejarah Yayasan Percik Insani Bandung

Berawal dari Komunitas Peduli Autis “Percik Insani”

Batik Jonas, Bandung, 7 Januari 2004

Perjumpaan yang berawal dari kerinduan untuk berkumpul kembali setelah sekian lama tidak bertemu membuat perbincangan dapat mengalir begitu saja tanpa agenda pembicaraan terlebih dahulu melainkan secara spontan berlangsung seru, hangat dan yang tersirat adalah rasa sehati seperasaan – sepenanggungan. Suasana perjumpaan yang demikian ini malah sangat kondusif baik sebagai sebentuk komunitas yang memang diawali dengan perjumpaan “kangen-kangenan” namun tidak terjebak dan jatuh pada romantisme dan terpuruk pada merapati penderitaan melainkan justru menjadi sebuah komunitas peneguhan yang luar biasa implikasi & dampaknya baik secara pribadi dan bersama; baik secara rasa perasaan – emosional (psikologis) dan secara rasional. Dengan kata lain, perjumpaan komunitas ini membuahkan solidaritas selain menawarkan berbagai rahmat kesempatan untuk saling berbagi – perasaan (sharing perasaan) bahkan komunitas ini dapat menjadi semacam “tempat sampah” dari segala curhat (kegundahan, frustrasi dan merasa sia-sia sembari ada kecemasan dan kebingungan bagaimana menghantar anak pada kemandirian untuk masa mendatang) karena hanya teman yang mengalami hal serupa yang paling mengerti; rahmat untuk saling berbagi dan bertukar pengalaman (ilmu, cara, metode dan hal-hal teknis); rahmat untuk saling saling meneguhkan; rahmat untuk kembali saling menyemangati dan berani lagi berjuang dan lagi. Beberapa butir insight yang lahir dan ditemukan dalam perjumpaan tersebut kiranya dapat dirunut sebagai berikut.

KOMUNITAS Ada kesadaran bersama bahwa komunitas semacam ini sangat dibutuhkan. Komunitas ini adalah inti atau dapat dikatakan first ring – sekaligus merupakan core – dari segala upaya menanggapi dan menghadapi permasalah autisma anak. Tanpa komunitas ini, sebaik apapun upaya pihak lain yang men-support tidak akan banyak berarti. Oleh karena itu keberadaan dan kehadiran sosok komunitas ini sangat menentukan. Untuk itu pertanyaan sekaligus tantangan yang mesti dijawab adalah bagaimana komunitas ini dikembang-tumbuhkan menjadi komunitas yang solid. Komunitas ini menyediakan ruang kebersamaan, persaudaraan solidaritas yang membebaskan. Komunitas ini juga memiliki warna paguyuban yang tentu saja tidak ada ikatan apalagi konsekuensi apapun selain ikatan sehati seperasaan yang akan lebih kental warna ikatannya karena menyentuh hal yang paling mendalam dan mendasar dari kemanusiaan kita. Segala aktivitas berawal dan berpusat dari dan pada komunitas. Komunitas ini adalah power untuk mengakomodir kebutuhannya sendiri dan menjadi corong bagi gerakan sosialisasi masalah autisma kepada masyarakat. Dengan demikian komunitas ini memiliki fungsi ke dalam dan ke luar, intern – ekstern, dengan tetap menyadari keunikan masing-masing. Bahkan kalau perlu, komunitas ini dapat menentukan kebijakan tertentu yang adil dan mengakomodir kebutuhan – kepentingan orang tua dan anak penyandang autis. 

SDM – terapis. Salah satu keprihatinan yang sekaligus menjadi kebutuhan komunitas ini adalah masalah SDM terapis. Selama ini yang terjadi adalah mencari sendiri terapis dengan berburu informasi tentang penyedia tenaga terapis atau melakukan recruitment, screening dan training sendiri untuk menyiapkan tenaga terapi bagi anaknya sendiri. Lewat perbincangan dalam komunitas, muncul banyak informasi, evaluasi dan bahan pertimbangan dalam melakukan semua proses tersebut. Terbetik kemudian keingin atau harapan yang berkembang menjadi ide, gagasan, dan rencana bersama untuk membuat mekanisme dan sistem dalam rangka menyediakan SDM terapis yang tidak hanya trampil dalam hal skillstools, metode dan aplikasi program namun juga bagaimana ada hati untuk anak autis (ini yang terpenting) selain profesionalisme terhadap profesi sebagai terapis dengan segala tuntutan up dating metode aplikatif dan metodologinya lewat seminar, pelatihan dan pembelajaran yang lainnya (buku, informasi internet dll.). Dengan adanya komunitas, orang tua dari anak penyandang autis dapat membuat kebijakan bersama (yang tidak terlalu kaku dan mengikat) soal standard dari salary tanpa mengesampingkan keunikan dan permasalahan yang dihadapi masing-masing pihak. Namun pada dasarnya adalah agar orang tua tidak dirugikan dan dapat saling tenggang rasa. Hal ini juga berlaku untuk konsultan atau nara sumber dengan kapasitas dan kompetensi yang lebih dari para terapis. Komunitas dapat melakukan upaya bersama sesuai kebutuhan, menyelenggarakan sendiri Seminar atau Pelatihan baik bagi komunitas maupun bersama dengan para terapis atau mereka yang peduli pada masalah autisma. Perbincangan kemudian berkembang menjadi berangan-angan untuk membuat semacam Terapist Education Center khusus untuk terapis anak autis. Bahkan tidak hanya untuk terapis tetapi juga kemudian terpikirkan semacam Training Centeruntuk pengasuh anak autis. 

KLINIK AUTIS. Dalam perbincangan perjumpaan komunitas juga sempat disinggung sebuah mimpi untuk mendirikan klinik bersama yang berorientasi pada kebutuhan orang tua dan anak penyandang autis. Hal ini muncul berdasarkan keprihatinan bahwa ada kesan beberapa klinik autisma yang ada lebih kental nuansa bisnisnya ketimbang pelayanan kemanusiaan. Tentu saja memang mesti profesional dan adil namun keluhan yang muncul adalah mahalnya biaya kadang tidak sepadan dengan penanganan dan pelayanan yang profesional, bertanggung jawab dan membuahkan hasil dari perencanaan dan pelaksanaan assesment yang matang – holistik tanpa mengesampingkan keunikan masing-masing anak. Salah satu yang menarik dan luar biasa dari perkembangan perbincangan tentang klinik ini adalah bahwa klinik ini nantinya memiliki keberpihakan dan concern pada mereka yang tidak mampu. Gerakan kemanusiaan dan sosialitas komunitas tidak terpaku picik pada kebutuhan pribadi melainkan justru menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial untuk solider dan berbagi kasih dengan mereka yang lemah, tidak mampu dan terpinggirkan sehingga anak autis dari keluarga tidak mampu, yang selama ini tidak terperhatikan dan dilupakan kalau tidak dibiarkan, akan mendapatkan sepercik harapan.

 

Jln. Bogor 10, Bandung, 11 Januari 2004

            Perjumpaan kedua ini menumbuh-kembangkan banyak hal yang telah disadari pada perjumpaan pertama di Batik Jonas. Dengan prosentase kehadiran yang meningkat lebih dari 200%, rasanya ini luar biasa. Dampak positif yang segera terasa dengan semakin banyak yang hadir dalam perjumpaan ini, meski tidak serta merta disadari, adalah perasaan sepenanggungan, ada teman yang juga mengalami permasalahan yang serupa dengan keunikan masing-masing. Hal ini tentu saja sangat meneguhkan baik secara pribadi maupun sebagai komunitas kebersamaan. Beberapa butir suasana yang telah kondusif berkembang dalam komunitas awal makin diteguhkan misalnya soal kangen-kangenan sebagai teman yang tidak pertama-tama hanya berkaitan dengan masalah autisma – meski memang ini menjadi trigger-nya, melainkan sebagai sahabat seperjalanan dalam hidup ini. Juga kesempatan sharing makin kental warna-warni pelangi keberagaman dan intensitas atau kedalaman cerita dan kisahnya. Tampaknya “tempat sampah” kita menjadi lebih luas lebih terbuka menciptakan suasana yang nyaman untuk makin terbuka. Curhat (kegundahan, rasa frustrasi dan merasa sia-sia sembari ada kecemasan dan kebingungan bagaimana menghantar anak pada kemandiriannya untuk masa mendatang) makin kaya dan makin menyentuh ke kedalaman hati nurani. Dengan demikian, lagi dan lagi, kita mengalami bersama – dan secara pribadi – rahmat Allah dalam perjumpaan ini. Nampaknya ada secercah harapan bahwa komunitas ini akan menjadi lebih solid. Oleh karena itu mungkin, kalau boleh usul, mungkin pengeratan relasional dalam komunitas ini lebih dimatangkan agar kemudian menjadi fondasi yang cukup kokoh untuk mulai beranjak dari persoalan intern (pribadi dan komunitas) menuju perjuangan ekstern. Beberapa hal yang mengemuka dalam pertemuan kedua ini sebagai inspirasi, ide maupun wacana yang mencerahkan akan dicoba dipaparkan dalam bagian berikut ini.

ANTARA KEBAHAGIAAN DAN HARAPAN DALAM KECEMASAN Dari sharing-sharing yang ada, mengemuka dengan kuat bahwa meski saat pendeteksian berbeda-beda usia dengan kondisi yang berbeda pula ada keharuan dan kebahagiaan ketika kemudian disadari bahwa dengan penanganan (tentu disertai pengorbanan yang tidak hanya materiil) toh ada kelegaan bahkan kebahagiaan karena anak tertangani dengan lebih bertanggung jawab – konstruktif, terencana, terprogram tidak reaksioner dan bagaimanapun juga mengurangi kebingungan. Kebahagiaan bahwa dengan penanganan yang utuh dan bertanggung jawab ada beban yang sedikit terkurangi sebagai orang tua yang tidak tahu harus bagaimana dan merasa tidak berbuat banyak untuk anak karena ketidak-tahuan. Data dan kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kita berjuang & berkorban luar biasa untuk anak tidak bisa dipungkiri. Justru hal ini harus diakui dan menjadi kebanggaan sehingga makin menumbuhkan kepercayaan diri, menumbuhkan semangat untuk terus berjuang dan menumbuhkan syukur pula pada Allah yang memberi kepercayaan lebih pada kita dengan menitipkan anak yang bermasalah. Segala jerih payah dan usaha – perjuangan kita selain memberi keyakinan bahwa kita mencintai dan mengusahakan yang terbaik untuk anak kita sehingga kita boleh tenang dan merasakan kebahagiaan, hal tersebut juga menghantar kita pada kesadaran bahwa ada harapan. Apa yang telah diusahakan selama ini tentu saja memberikan harapan bahwa anak akan lebih baik, kita juga terdukung dan extended family juga terbantu. Meski disadari bersama bahwa memang ada kemajuan pada anak, ada banyak perkembangan yang membanggakan, ada banyak penghiburan dan ini semua membahagiaan memberikan harapan namun terbersit kekhawatiran, kecemasan dan keraguan apakah kita mampu menemani dan menghantar anak menuju masa remajanya bahkan kemudian pada kedewasaannya yang sama sekali kita tidak tahu bagaimana dan harus melakukan apa. Tampaknya hal ini cukup mengemuka dialami sebagai pengalaman bersama. Rasanya sangat beralasan kalau komunitas ini juga mengakomodir kebutuhan ini sebagai kebutuhan bersama yang urgent & mendesak untuk dipikirkan dan ditanggapi bersama.

PELUANG GERAKAN Dalam perbincangan yang terjadi dalam perjumpaan kedua ini juga mengemuka persoalan yang penting yang membuat kita sadar bahwa tidak mesti hanya berkutat pada diri sendiri melainkan mulai “berbicara” pada masyarakat tentang masalah autisma. Lontaran pemikiran yang sempat muncul mulai dari sosialisasi masalah autisma, penyadaran pada masyarakat & pemerintah, kampanye bahkan sampai pada masalah advokasi anak autis baik dilingkungan sekolah (hak mendapatkan pendidikan di sekolah regular dengan penyesuaian kurikulum dan menolak diskriminasi perlakuan). Tentu ini tidak sederhana prosesnya namun tampaknya mesti juga dimulai paling tidak menjadi wacana pemikiran yang mesti diusahakan bersama. Hal ini dapat diakomodir oleh beberapa teman yang memang telah terjun dalam dunia gerakan antara lain lewat LSM yang memperjuangkan hak anak dengan special needs.   Pada awalnya Percik Insani tumbuh dari lembaga SEMADI (Sekretariat Kemanusiaan dan Keadilan) Keuskupan Bandung. Pada tahun 2009 SEMADI berubah menjadi KKP (Komisi Keadilan dan Perdamaian). Komisi ini mempunyai tugas perutusan dalam bidang Perlindungan, Advokasi, dan Pelayanan bagi mereka yang menderita, tersingkir, tertindas, dan difabel. Dari sinilah dicoba ditumbuhkan komunitas Percik Insani sebagai bagian dari karya pastoral, menumbuhkan komunitas basis, mengembangkan gerakan belarasa, dan menciptakan keadilan dan perdamaian di tataran wacana maupun praksis. Pada Bulan Maret 2017 Yayasan Percik Insani Bandung menjadi yayasan di bawah Keuskupan Bandung, dengan disertai beberapa pengembangan program.

Scroll to Top